Fullmetal Alchemist Final Transmutation ending buruk dan terburu-buru
Perjalanan panjang dan berliku Elric bersaudara berakhir di akhir cerita yang epik ini, di mana mereka harus berhadapan dengan ancaman yang tidak biasa dan berskala nasional di Fullmetal Alchemist Final Transmutation. Rilis di Netflix pada 24 Juni 2022.
Film ketiga yang masih disutradarai oleh Fumihiko Sori, berdasar manga buatan Hiromu Arakawa, dan diadaptasi menjadi naskah film live-action bersama Takeshi Miyamoto.
Kelanjutan Elric bersaudara ketika mereka tahu dari mana Philosopher Stone berasal. Masalah rumit juga diperburuk dengan Scar yang terus menuntut balas atas negaranya yang dibantai oleh negara.
Terkuaknya konspirasi negara yang sudah dikuasai para Homunculus, membuat Elric bersaudara harus ikut rencana Mustang dalam kudeta negara. Kekuatan para pemberontak negara ini harus kuat di berbagai sektor.
Penyelesaian terburu-buru
Revenge of Scar mungkin sudah menurun dari film pertama, tapi film ketiga Fullmetal Alchemist Final Transmutation jauh lebih buruk dari semuanya. Mungkin karena tidak ada banyak poin plot yang terlalu terburu-buru dalam penyelesaian 20 episode lebih dalam animenya.
Begitu banyak poin plot dan apa yang membuat Fullmetal Alchemist hebat tidak ada dalam film ini karena mereka harus memotong begitu banyak. Mereka hanya mengambil apa yang mereka anggap sebagai poin-poin yang mudah diingat dan melemparkannya ke dalam panci tanpa bumbu.
Kita pasti akan bertanya apakah seseorang yang belum pernah melihat materi sumbernya baik manga atau anime, dapat benar-benar terikat akan ceritanya yang rumit dan memahami nuansa karakternya.
Banyak sekali bagian dari sumber aslinya yang tidak dapat kita lihat. Bagian-bagian yang mereka anggap penting untuk keutuhan plot, ternyata menyisakan banyak plot hole, khususnya yang lupa akan konflik utamanya.
Munculnya banyak karakter baru di akhir film, membuyarkan banyak sisi yang harus dijelaskan. Emosi sama sekali tidak mengikat kita, di tengah kelutnya suasana politik negara tersebut.
Akting makin kacau, walau didukung kostum oke
Mereka memilih untuk melakukan penceritaan sudut pandang anime, Para penggemar setia sejak anime, pasti tahu bagaimana dalam anime mereka bereaksi secara dramatis. Itu ada di sini. Waktu komedi yang slapstick, reaksi yang berlebihan, terlalu mengganggu untuk suasana kelam yang sedang terjadi.
Banyak acara Jepang yang melakukannya dengan cara ini, mungkin akan lebih masuk untuk penonton Jepang lokal. Tapi suasana mengerikan yang timbul dari segi plot akan terasa berkurang jauh dari komedi selipan yang cukup banyak tersaji.
Penambahan karakter yang banyak, membuat akting tiap karakter inti tidak begitu terlihat. Khususnya Edward yang mendominasi akhir laga. Performanya tidak didukung para pemain lainnya.
CGI pengecualian makin terlihat buruk
Efek-efek buruknya terlalu mencolok terutama pada film ketiga ini. Orang-orang dapat mengetahui bahwa ini adalah CGI karena biasanya sangat tidak mungkin dilakukan secara nyata karena jelas bukan animatronik dan juga tidak praktis, tapi lihatlah mereka juga tidak melakukan CGI dengan baik.
Kalian dapat melihat bahwa mereka mencurahkan segenap hati mereka untuk membuat Alphonse terlihat bagus karena dia benar-benar dapat menyatu dengan lingkungannya, mungkin beberapa efek alkimia juga bagus tapi selebihnya, tidak terlalu bagus.
Efek transmutation yang lebih masif di film terakhir ini terkesan amat dipaksakan. Terlebih skala besar dan penggunaan pemain yang banyak di latar gelap, terlihat aneh dari sudut pandang manapun. Walaupun beberapa efek pertempuran antar mereka cukup baik.
Kostum keren ala anime
Rambut palsu yang buruk dan pasti kalian bisa tahu bahwa itu adalah rambut palsu. Film pertama Ryosuke Yamada sebagai Edward mengecat rambutnya dan itu benar-benar pekerjaan yang tidak rapi terlihat seperti wig, namun di film berikut semakin parah dengan wig asli
Kostum bagian yang lebih baik dari film ini. Sebagian besar terlihat usang dan mereka mencoba untuk benar-benar meniru apa yang dikenakan oleh karakter anime. Perang yang panjang tergambar dari kostum lusuh para pemain yang sedang berjuang.