Mangkujiwo sajikan sejarah kunti ala Jawa
Review plus minus film Mangkujiwo mungkin dapat menjadi potensi besar film horror Indonesia. Seperti standar dengan khas baru, tanpa jumpscare yang berlebihan lebih menonjolkan pembangunan cerita untuk melengkapi Kuntilanak Universe. Mangkujiwo ini membangun cerita latar yang cukup dalam untuk membawa kita ke sebuah latar jawa yang kental.
Mangkujiwo menampilkan cerita yang cukup unik membuat kita sebagai penonton dibuat sedikit berpikir untuk megikuti pola 2 latar waktu yang dibuat berkaitan. 2 Timeline yang cukup acak sepanjang film membuat cukup kualahan. Jika kita tidak benar-benar bisa memperhatikan semua adegan dari 2 sisi bersebrangan, antara Tjokro (Roy Marten) dan Broto (Sujiwo Tejo). 2 tokoh ini diselipi misteri Kanti si point penting dalam film.
Pembangunan plot bertahap
Cukup baik membangun cerita yang cukup luas jangka waktunya. Tiap waktu terdapat potongan-potongan adegan penting dari awal hingga akhir. Kita harus bisa merangkai tiap misteri yang makin menuju akhir film, makin jelas misterinya.
Walaupun agak kurang fokus pada awal cerita si Kanti, tapi semua semakin jelas pada akhir. Sebagian orang mungkin akan bosan, terbilang lambat karena tiap adegan yang cenderung bertele-tele. Di sisi lainnya loncatan tiap adegan penting juga bisa dibilang cukup cepat membuat beberapa orang kualahan mengikuti alur ceritanya.
Diperankan para pemain yang sudah mumpuni menjadikan film ini sedikit lebih di depan ketimbang film horror Indonesia lainnya. Peran ndoro Broto oleh Sujiwo Tejo menjadi pamungkas dengan kentalnya etnik jawa yang melekat pada dirinya, mulai dari gaya, bahasa, hingga detail humor kecil yang mungkin hanya orang jawa asli yang memahami. Selain itu peran lain pun sungguh memuaskan, apalagi Kanti yang terbilang sedikit, tapi kita cukup merasakan apa yang ingin diceritakan dari dendam kanti tersebut.
Walau sedikit banyak menampilkan adegan yang menjijikan dan mengerikan, tapi tidak begitu terasa horror dan terror pada hantu dan kepercayaan di dalamnya. Nuansa menyeramkan yang dibangun hanya dari cerita yang sangat detail dari berbagai sisi. Scoring yang menjanjikan mengisi setiap adegan untuk menebalkan nuansa horror ke para penonton.
Budaya Jawa kental menambah aroma mistis
Latar tempat di Yogyakarta pun terlihat cukup apik. Dari mulai rumah joglo dan berbagai pernak-perniknya, Taman Sari yang begitu ikonik, Pantai Selatan yang sedikit banyak menjadi momok Ratu Kidul. Ditambah dengan suasana masa lampau dan beberapa belas tahun setelahnya terlihat dari tone warna yang dibedakan dan gaya tiap pemain yang mengalami 2 masa timeline tersebut.
Bagi saya Mangkujiwo melengkapi Kuntilanak Universe dengan cerita latar etnik jawa yang kental sukses menyuguhkan cerita prekuel yang jelas, namun tidak dengan horror yang menakuti secara menyeramkan.