Review Film – Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023)

Indiana Jones and the Dial of Destiny jadi akhir petualangan Dr Jones?

Setelah Steven Spielberg menyerahkan tongkat estafet ke James Mangold, rasanya banyak perubahan. Indiana Jones and the Dial of Destiny mungkin terlalu jauh dari petualangan Harrison Ford menjadi Indy sejak Crystal Skull di 2008.

Cerita penerus Indy dari anak kandungnya di film ke-4, terasa mentah begitu saja di film ini. Indiana Jones and the Dial of Destiny jadi film ke-5 yang membawa kembali sosok Indy setelah pensiun dari dunia arkeologi. 

Rilis pada 28 Juni 2023 di bioskop Indonesia, nampaknya penggemar Indiana Jones terlalu sedikit untuk menikmati filmnya yang berjaya pada 80an dengan trilogi melawan Nazi. Jarak 15 tahun dengan film sebelumnya pun, terlalu jauh untuk menghidupkan waralaba yang hanya terkenal di satu pemeran yaitu Harrison Ford.

Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023)
Indy pensiun mengajar – Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023) | © Lucasfilm

Gagasan bahwa kita bisa melihat seorang pahlawan aksi seperti Indiana Jones yang berusia lebih dari 70 tahun bisa menjadi titik awal yang bagus. Sayangnya, kita hanya bisa mendengar penderitaan Indy akibat penuaan sebagian besar dalam dialog dan tidak melihatnya dalam aksi.

Membawa kisah Perang Dunia II dengan Nazi kembali

Saat itu tahun 1944 dan Perang Dunia II hampir berakhir. Hitler sekarang percaya bahwa belati yang membunuh Yesus dapat membantunya memenangkan perang. Ketika Nazi berhasil mendapatkannya, Indiana Jones (Harrison Ford) mencoba mencurinya kembali, yang ternyata itu palsu. 

Archimedes’s Dial menjadi benda lain yang dianggap bisa memenangkan perang. Bersama temannya Basil Shaw (Toby Jones), Indy berhasil mencuri kembali “Dial of Destiny” ini dari ilmuwan Nazi Jurgen Völler (Mads Mikkelsen). 

Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023)
Jurgen Völler (Mads Mikkelsen) dan pasukan Nazi – Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023) | © Lucasfilm

Membawa konflik Nazi kembali ke musuh utama Indy, nampaknya hanya mengambil ide dari trilogi awal. Padahal sejarah tentang arkeologi selain perang dan Nazi begitu banyak. Nampaknya para penulis cerita tidak bisa membawa gagasan baru tentang petualangan Indy.

Mad Mikkelsen menyelamatkan konflik dengan karakter khas antagonisnya. Mads memang cocok saat dirinya mendapat peran antagonis super menjengkelkan. Apalagi simpatisan Nazi yang bertahan puluhan tahun, makin membuat dirinya mudah dibenci.

Sutradara James Mangold jatuh ke dalam perangkap karena ingin terlalu setia pada materi aslinya, padahal ia bisa saja menunjukkan sisi lain yang berbeda. Bahkan mungkin lebih gelap dari Indy biasanya. Misalnya, Indy mengakali lawan-lawannya dan bukannya menghajar mereka.

Masa tua Indy harus menyelesaikan impian rekannya.
Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023)
Teddy, Indy, dan Helena – Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023) | © Lucasfilm

25 tahun kemudian, Indy dan Völler bertemu lagi dan taruhannya sama: kekuatan Dial Archimedes. Völler berpikir bahwa benda tersebut bisa membawanya mengarungi waktu, dan kembali ke masa lampau. 

Bersama Helena (Phoebe Waller-Bridge), Indy berusaha menemukan Dial of Destiny yang terpisah. Petualangannya dengan Helena terlalu lama di babak pertama film. Mencoba membangun kemistri baru, seperti duet ayah dan anak di film Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull (2008).

Mungkin jika Shia LaBeouf kembali berpetualang, emosi kita sebagai pengikut waralaba Indiana Jones akan lebih menyatu. Konflik rumah tangga Indy yang terkesan dibuat-buat untuk mempermudah konflik barunya, terlalu klise.

Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023)
Helena Phoebe Waller-Bridge) dan Indy – Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023) | © Lucasfilm

Memperlihatkan petualangan Indy dan Shaw di awal, terasa kurang bagi penonton yang tidak mengikuti Indiana Jones sejak awal,. Bahkan kemunculan Helena dan beberapa rekan sejawat dahulu Sallah (John Rhys-Davies), tidak membangkitkan rasa nostalgia lebih dalam.

Terlalu banyak CGI

Berbeda dengan trilogi awal Indiana Jones, dimana kita dibuat terpukau oleh aksi-aksi Indy di berbagai medan sulit. Setting dan latar buatan pada film-film awal terlihat praktis dan realistis, menurun jauh di film Indiana Jones and the Dial of Destiny.

Di beberapa bagian, Harrison Ford dibuat lebih muda, jauh dari penampilannya sekarang, terlihat amat murahan. Kita seperti menonton cutscene video game kaku. CGI kocak dengan gerakan-gerakan aksi mustahil, tidak membuat adrenalin naik.

Indiana Jones and the Dial of Destiny (2023)
Indiana Jones muda – Dial of Destiny (2023) | © Lucasfilm

Di sinilah sebenarnya letak kelemahan film ini. Indy lama yang baru tidak memiliki warna. Kita merindukan humor dan sarkasme yang ia miliki di film-film sebelumnya dan ia tidak benar-benar terbantu oleh rekan barunya Helena.

Beberapa aksi Indy di tengah kota Maroko pun terlihat palsu, aksi kejar-kejaran dengan bajaj beberapa terlihat tidak mulus. Setengah film Indiana Jones kali ini hanya kejar-kejaran mendapatkan jam misterius Archimedes. 

Indiana Jones and the Dial of Destiny tidak memberikan kejutan di setiap momennya. Adegan di mana Indy mengendarai kuda melewati parade besar dan akhirnya memasuki kereta bawah tanah (seperti yang terlihat dalam trailer) adalah sorotan yang langka.

Dibandingkan dengan film-film aksi masa kini, film ini tidak bisa bersaing. Kepadatan aksi terasa terlalu lambat dan terlalu lama dalam total durasi 154 menit.



Movie Info

Scroll to Top