Monster membuat drama masalah anak sekolah saja sebegini menariknya
Tidak salah jika Monster jadi salah satu film favorit Presiden US Barack Obama. Film drama Jepang yang disutradarai oleh Hirokazu Kore-eda memang beda dari yng lain. Skenario yang ditulis oleh Yuji Sakamoto jadi “Best Screenplay” di Cannes Film Festival.
Film rilis sebenarnya sudah di berbagai film festival secara Internasional dan juga di Indonesia tahun 2023, namun untuk umum bioskop baru tanggal 3 Januari 2024.
Film ini dimulai dengan Saori Mugino (Sakura Ando) yang menyadari bahwa ada perubahan yang mengganggu dalam perilaku Minato (Soya Kurokawa). Minato menjadi lebih agresif dan suka berkelahi, dan ia juga mulai mengatakan hal-hal yang mengerikan.
Saori khawatir apa yang terjadi dengan anaknya Minato di sekolah, dan ia pun mulai menyelidiki apa yang terjadi dengan bertemu guru Minato, Hori (Eita Nagayama) yang juga memiliki pendapat yang berbeda tentang Minato.
Susunan 3 sudut pandang menarik
Kisah film ini kemudian diceritakan dari tiga sudut pandang: Saori ibu dari Minato, Hori guru yang menjadi kambing hitam, dan Minato sendiri. Hal ini memberikan gambaran yang lebih kompleks tentang situasi yang terjadi.
Premis awal tentang bagaimana sang ibu tunggal mengurus anak lelaki semata wayang. Masalah yang terjadi terhadap anak lelaki kerap terjadi, tapi kekhawatiran sang ibu berujung sebuah fakta baru di perspektif orang lain.
Lalu Pak guru Hori, seorang guru pindahan. Melihat anak didiknya bermasalah dan dari sudut pandang guru, kita akan melihat juga cara sekolah memberlakukan anak bermasalah di sekolah.
Terakhir sudut pandang si anak Minato yang berkaitan dengan karakter Yori Hoshikawa (Hinata Hiiragi). Setiap sudut pandang, memberi kita gambar baru dan benar-benar berbeda. Spekulasi kalian di bagian awal tengah, akan terbantahkan dengan sudut pandang anak ini.
Pada akhirnya, film tidak memberikan jawaban yang pasti tentang siapa monster yang sebenarnya. Film ini lebih fokus untuk mengeksplorasi tema-tema seperti keluarga, pengasuhan, dan sifat manusia.
Irisan POV terus mengungkap hal baru
Siapakah monster yang sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Ketakutan anak menjadi monster atau sifat monster yang sudah ada dalam seorang anak?
Pengaruh latar belakang tiap karakter yang kuat akan mempertebal emosi di tiap karakternya. Lengkap dengan detail aktivitas harian, semua terbuka saat semua POV kita lihat.
Memakai banyak sudut pandang, perspektif atau POV sangat sulit untuk satu film. Ini jadi hal brilian untuk premis Monster yang sangat sederhana, yaitu tentang anak yang bermasalah di sekolahnya.
Tapi di sini, peralihan dari POV Saori sang ibu ke POV Hori sang guru, begitu juga ke POV Minato tergambar rapi dan menyenangkan. Tiap irisan adegan yang pastinya akan menggunakan alur maju mundur, tidak membuat kita bingung.
Setiap perpindahan POV akan menjelaskan adegan tertentu di POV lainnya. Walau interpretasi tiap POV akan sangat berbeda, kelembutan sentuhan sang sutradara begitu memukau.
Semua menjelaskan masing-masing POV karakter dan respon mereka terhadap situasi. Dan juga bagaimana seorang single mother, guru pindahan, dan anak lelaki yang hanya ingin berteman, memaknai suatu peristiwa dari perspektifnya.
Scoring minimalis menawan
Film drama yang kaya akan dialog dan akting para pemerannya, lebih banyak menggunakan scoring untuk mempertebal emosi. Scoring di film ini cenderung tipis tidak berlebihan. Tapi dengan pengambilan gambar ciamik, semua emosi tersampaikan dengan baik.
Ciri khas drama Jepang, minim backsound, sehingga semua aktivitas dan dialog tampil terdepan. Semua elemen terasa lebih jujur, tanpa embel-embel lagu penguat emosi.
Terdapat beberapa bagian, yang terasa pas untuk diiringi. Terlebih nuansa misterius pasti timbul. Penasaran dan menerka-nerka sambil menikmati drama, itulah yang akan kita rasakan sepanjang film. Perjalanan singkat seorang anak Minato dengan akhir multi-tafsir.
Suasana kota kecil Jepang
Monster menggunakan bukan latar tengah kota dengan gedung dan lampu-lampu berkilau. Hanya apartemen kecil, seperti kebanyakan rumah keluarga di Jepang, jadi andalan untuk menguatkan tiap sudut pandangnya.
Perbedaan rumah tinggal antar karakter, juga jadi elemen penting bagaimana sifat anggota keluarga yang mau diperlihatkan dalam film. Serasa semua latar tempat yang kita lihat di film, jadi jembatan penyambung plot yang tersirat.
Keluarga Minato dengan sang ibu yang pergi lalu lalang dari tempat kerjanya di sebuah laundry, dan mengurus masalah anaknya di sekolah. Sekolah khas Jepang, yang hampir diperlihatkan keseluruhan kegiatannya.
Kita mungkin warga Indonesia akan malu, bagaimana anak-anak murid dan kepala sekolah pun ikut membersihkan sekolah. “Wah rajin ya..” ya itu budaya yang diterapkan semenjak sekolah.
Walau bukan intensi si pembuat film untuk memunculkan kegiatan anak sekolah dasar, tapi secara tidak langsung kegiatan yang berkaitan dengan Minato dan Yori.
Kegiatan kedua anak ini menjadi inti dan membuat kita penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengan 2 anak ini. Apakah hanya 2 anak ini yang bermasalah, atau gurunya? Kepala sekolah? Atau satu sekolah?
Tampil di sebagian besar film, sekolah ini jadi misteri tersendiri yang selalu membuat kita terkesan saat ada sudut pandang baru terbuka.
Selain sekolah, tempat Yori dan Minato bermain, terlihat seperti tempat tak terawat dan hutan tanaman liar. Memperlihatkan kebebasan bermain 2 anak SD, yang seperti kata pembersih pakaian “Kotor? Siapa Takut?!”.