Siksa Kubur apakah hukuman alam neraka itu ada untuk para pendosa di dunia?
Joko Anwar kembali dengan karya horor-religi terbaru berjudul Siksa Kubur. Sebagai adaptasi dari film pendeknya sendiri yang rilis pada tahun 2012 lalu, sang sutradara kali ini menampilkan cerita yang lebih menarik dan sangat mendebarkan.
Tidak hanya itu, film ini juga menghadirkan deretan bintang ternama ke dalam jajaran pemainnya. Mulai dari aktris senior Christine Hakim, Niniek L. Karim, Slamet Rahardjo, Happy Salma, Fachry Albar, Reza Rahadian hingga bintang muda berbakat Widuri Puteri dan Muzakki Ramdhan.
Siksa Kubur mengikuti perjalanan kakak beradik yang trauma dengan masa kecil mereka. Setelah kedua orang tuanya jadi korban bom bunuh diri, Sita (Faradina Mufti) jadi tidak percaya agama. Sejak saat itu, tujuan hidup Sita hanya satu: mencari orang yang paling berdosa.
Hal yang mengerikan adalah, ketika orang paling berdosa itu meninggal, Sita ingin ikut masuk ke dalam kuburannya untuk membuktikan bahwa siksa kubur tidak ada dan agama tidak nyata.
Namun, tentunya ada konsekuensi yang mengerikan bagi mereka yang tak percaya. Apakah Sita bisa membuktikan adanya Siksa Kubur atau bahkan membantah keberadaannya?
Perasaan tidak nyaman sejak film dimulai
Mungkin tidak jarang jika beberapa film horor memulai eksekusi atau menarik perhatian penonton dengan adegan pembuka gila dan menyeramkan sejak awal film diputar.
Hal ini memang efektif, namun tentu saja tidak sedikit pula yang gagal mempertahankan ketegangan tersebut. Namun, Siksa Kubur tentu saja berbeda dengan film-film kebanyakan.
Ketika kita dipertemukan oleh keluarga Sita dan Adil yang berbahagia, rasa penasaran mulai muncul. Bukan Joko Anwar namanya jika tidak mampu membuat penonton merasa waswas dengan adegan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Berlatar di sebuah toko roti yang sendu namun hangat, orang tua Sita dan Adil justru menjadi korban dari peristiwa bom bunuh diri.
Sejak saat itu, kedamaian berubah menjadi deretan peristiwa yang tidak nyaman. Sita dan Adil menjalani beragam kelokan di hidupnya, guna membuktikan keberadaan agama dan siksa kubur.
Sang kakak beradik ini hidup di antara para orang tua, di tengah rumah panti jompo yang besar dan mahal. Mereka terus mencari kebenaran tentang siksa kubur, menentang segala bukti-bukti mistis yang tidak bisa dibuktikan dengan logika.
Satu kuncinya: percaya. Sayangnya, meski berulang kali Sita diperlihatkan kejadian aneh, ia tidak mau percaya akan keberadaan siksa kubur dan hal-hal yang mengelilinginya.
Film ini secara konsisten menghadirkan perasaan tegang seperti berada di ujung tepi, baik itu secara visual maupun audio. Penonton seakan tidak pernah berhenti waspada, apakah akan ada kejutan baru lagi?
Dialog tentang kematian membangun alur yang lambat
Jika menginginkan sebuah tayangan yang menegangkan karena unsur jumpscare, maka tentu Siksa Kubur bukan tontonan yang tepat. Ada banyak dialog, percakapan, atau narasi yang membangun cerita film ini – terutama di babak satu dan dua.
Oleh karena itu, penonton mungkin akan mengalami kebosanan pada awalnya, meskipun rasa tersebut akan tergantikan di babak akhir.
Hal ini sebenarnya bukanlah sebuah kekurangan, tapi juga tidak bisa dibilang kelebihan. Mengingat sang sutradara terkenal dengan caranya bermain teori dalam film-film yang ia ciptakan, lantas penonton harus pintar-pintar mencermati setiap adegan. Sayangnya, tidak semua orang senang dengan konsep tersebut.
Dengan kata lain, Siksa Kubur membutuhkan penonton yang datang dengan keadaan baik. Selain sukses menghadirkan ketegangan batin, film ini juga tentunya akan membuat kita mengasah otak.
Apakah hal tersebut membuat penonton betah? atau justru bingung menangkap maksud dan inti cerita?
Selain scoring yang sangat membuat tidak nyaman dan akting memukau dari para bintang, kekurangan film ini mungkin terlihat jelas dalam pengembangan cerita. Tidak adanya pengantar yang cukup untuk membuat penonton merasa terikat atau bersimpati dengan dua tokoh utama, Sita dan Adil.
Belum lagi, film ini juga menghadirkan cerita-cerita sisipan dari para orang tua panti jompo. Adegan penuh drama tentu saja tidak terbantahkan, terutama monolog yang menghipnotis dari sang senior Slamet Rahardjo.
Akhir yang dipenuhi pertanyaan
Ada beragam cara untuk menikmati film ini, baik menonton film pendeknya terlebih dahulu; membaca teori-teori di sosial media; atau langsung menikmati di bioskop dan merasakan sensasinya.
Meski sulit ditebak dan dipahami, film ini pun membuka diskusi dengan adanya ending yang terbuka. Plot twist yang terjadi juga menambah teori-teori liar yang bertebaran, usai menonton film tersebut.
Akhir yang tidak pasti kemudian menimbulkan beragam pertanyaan, membuka segala kemungkinan. Sang sutradara sepertinya ingin membuat film yang membekas, sehingga setelah keluar dari bioskop, para penonton tidak bisa melupakan setiap adegannya.
Mungkin ini juga menjadi cara sang sutradara untuk memberi batas jelas, siapa yang tidak menyukai film karya Joko Anwar lebih baik tidak usah menyaksikan. Siksa Kubur jelas bukan film yang mudah dipahami, tapi masih menarik jika ingin dinikmati.