Air memperlihatkan rumitnya membuat Air Jordan
Film yang diambil dari kisah nyata, Air disutradarai oleh Ben Affleck dan ditulis oleh Alex Convery. Beberapa pasa dengan judul Air: Courting a Legend adalah sebuah film drama olahraga biografi tentang asal-usul Air Jordan, sepatu basket, di mana seorang karyawan Nike, Inc. berusaha membuat kesepakatan bisnis dengan pemain pemula Michael Jordan.
Berfokus pada seorang talent scout di perusahaan Nike bernama Sonny (Matt Damon) bersikukuh dengan pendiriannya untuk ingin merekrut Michael Jordan untuk menjadi ikon sepatu bola basket Nike. Divisi sepatu bola basket Nike sudah diambang kehancuran, di bawah 2 merek besar Adidas dan Converse, yang mendominasi NBA.
Phil Knight (Ben Affleck) sang CEO sempat ragu akan keputusan Sonny yang gila. Michael Jordan juga awalnya sudah tertarik dengan Adidas dan Converse. Langkah-langkah gila Sonny membuat para petinggi Nike seperti Rob Strasser (Jason Bateman) dan Howard White (Chris Tucker) menyerah dan mengikuti cara Sonny.
Akhirnya Nike memutuskan untuk mengambil 1 pemain basket saja untuk jangka panjang. Mereka bertaruh seluruh anggaran perusahaan di seorang pemain basket muda, rookie NBA Michael Jordan yang sempat diragukan dan hanya mendapat pick ke-3 di draft NBA ke tim Chicago Bulls.
Bermula dari sang agen bola basket Sonny
Peran Sonny dalam perusahaan Nike cukup complicated. Bahkan dirinya tidak mengerti apa posisinya dalam perusahaan. Dirinya yang sangat menyukai bola basket, terus berkeliling, mencari bakat muda untuk menjadi ikon sepatu Nike selanjutnya. Dalam kondisi divisi basket Nike terpuruk, ini menjadi masalah utama dalam film Air.
Sonny terlihat selalu bersitegang dengan para petinggi Nike. Lontaran dialog menghibur, jadi senjata utama film ini. Bagi pecinta bola basket dan sepatu ini, pasti akan penasaran bagaimana Sonny mengolah hal mustahil menjadi fenomena dunia. Semua bergulir dengan cepat.
Dari mulai ide dalam perusahaan, hingga persaingan dengan nama besar seperti Adidas merek besar dari German, dan penguasa Amerika yaitu Converse. Intinya hanya pada divisi bola basket. Sonny tidak mau idenya sia-sia ke pemain basket pilihan dewan direksi.
Tak hanya ide gila, tindakannya yang melawan agen juga menjadi adegan-adegan menyenangkan. Bahkan alotnya negosiasi terus tersaji. Melalui setting latar 80an, pesawat telepon kabel menjadi hal paling sering digunakan.
Siapa tak kenal sepatu ikonik Air Jordan?
Mungkin ini satu-satunya lini khusus atlet basket, bahkan seluruh olahragawan yang berhasil 2 dekade terakhir. Siapa yang tidak pernah melihat sepatu ini di publik? Mungkin hampir di setiap sudut tempat dan usia, mengakui sepatu basket yang mungkin lebih dikenal sneakers saat ini. Air Jordan menjadi sepatu yang paling berhasil, dan masih diburu para pecinta sepatu.
Menjadi keputusan tepat, Nike membuat Air Jordan lengkap dengan siluet Michael Jordan melompat. Gebrakan ini, belum mampu dicapai atlet manapun lagi. Sepatu ikon atlet sudah banyak saat ini, tapi Air Jordan tetap mendapat hati para pecinta sepatu khususnya sneakers.
Dengan design khas Nike, logo centangnya melintang di dua sisi. Dengan awalan produk khusus pebasket terbaik sepanjang masa, berwarna merah putih dan hitam. Dobrakan warna khas Bulls ini padahal melanggar aturan warna sepatu di NBA. Namun, itu menjadi awalan sepatu para pebasket menjadi lebih berwarna dan beragam. Terima kasih untuk Nike yang berani melanggar aturan.
Tidak hanya aturan NBA, bahkan aturan bisnis juga mereka gebrak. Di tiap sepatu Air Jordan yang terjual, Michael Jordan akan mendapat bagian sebagai penghasilan pasifnya. Setiap tahun Air Jordan rata-rata mendapat 4 Milyar Dollar AS sebagai keuntungannya. Hal ini menjadi contoh baik bagi para atlet untuk mengembangkan yayasannya sendiri, membantu banyak orang. Terbukti banyak atlet sukses mengikuti hal ini membangun yayasannya sendiri.
Orang-orang di balik kesuksesan Air Jordan
Mungkin POV utama film ini adalah Sonny. Dirinya sampai menghampiri rumah Michael Jordan langsung, dan bertemu ibunya Deloris Jordan (Viola Davis) untuk meyakinkan anaknya untuk mau bergabung dengan Nike. Namun, bukan hanya Sonny, tanpa Phil Knight, keputusan untuk menggunakan semua anggaran ke Michael Jordan tidak akan terpenuhi.
Ditambah kemampuan negosiasi kocak kulit hitam dari White memudahkan semuanya. Perpaduan Sonny dan Strasser yang sempat tidak klop di awal, seperti roller coaster menuju detik akhir Michael Jordan menyetujui kontrak gila ini. Semua berkat Peter Moore (Matthew Maher) sang designer sepatu. Ide mereka bertiga jadi gebrakan melenceng, namun akhirnya berhasil di pasar, dengan mengedepankan estetika penampilan ketimbang fungsi.