The Green Perfume, petualangan mencari seorang pembunuh misterius di keindahan benua Eropa.
Mencampurkan film mata-mata klasik dengan humor tipis, The Green Perfume (2022) adalah pengalaman sinematik menyenangkan. Disutradarai oleh Nicolas Pariser, film ini membawa kita dalam petualangan seru melintasi Eropa, mengikuti duo tak terduga yang terperangkap dalam jaring konspirasi dan pembunuhan.
Cerita dibuka dengan dramatis. Bermula dari seorang aktor yang tiba-tiba terjatuh dan meninggal di atas panggung, ia diracun selama pertunjukan.
Sayangnya, teman korban dan sesama aktor, Martin Remi (Vincent Lacoste), justru menjadi sorotan. Ia dengan cepat dicurigai oleh polisi dan dikejar oleh organisasi misterius bernama The Green Perfume. Martin kemudian memulai pencarian putus asa untuk membersihkan namanya dan mengungkap kebenaran.
Dalam perjalanan tersebut, ia bekerja sama dengan Claire Mayer (Sandrine Kiberlain), seorang kartunis eksentrik yang haus akan petualangan. Kepribadian mereka yang kontras menciptakan percikan komedi yang mendorong narasi. Lantas, apakah mereka bisa menemukan siapa pembunuhnya?
Sederhana tapi memikat
Jika biasanya film mata-mata sering mengandalkan plot berliku-liku dan ketegangan memuncak, The Green Perfume justru tampil dengan sederhana, perlahan, namun tetap memikat. Meski begitu, penonton masih bisa terlibat hingga akhir dan menebak-nebak siapakah pembunuh sesungguhnya serta apa yang sebenarnya terjadi pada tokoh utama. Hal ini karena sang sutradara memang cukup handal menyatukan elemen emosional, aksi, dan humor.
Sayangnya, The Green Perfume berada di antara cerita yang menawan dan kurangnya kedalaman narasi. Di permukaan, film ini menawarkan petualangan seru melintasi Eropa, terjerat konspirasi, pembunuhan, serta situasi karakter utama yang dilemparkan ke dalam kekacauan.
Babak awal menarik perhatian penonton dengan kematian mengejutkan dan beragam kesulitan Martin, mendorongnya ke dalam pencarian kebenaran.
Seiring berjalannya film, plot lambat laun terungkap dengan cara yang agak episodik. Sementara momen menegangkan dan pertemuan lucu membuat kita tetap terlibat, misteri utama terurai dengan santai – hingga terkadang kehilangan momentum.
Film ini berkembang melalui dua karakter yang unik dan hubungan dinamis mereka, menciptakan rasa persahabatan di tengah intrik.
Secara keseluruhan, alur cerita dari film ini memang tidak terlalu diulik mendalam. Konspirasi sentral, meski menarik, terasa kurang berkembang. Alhasil perjalanan mereka meninggalkan beberapa benang plot tertinggal dan motivasi yang tidak jelas.
Belum lagi resolusinya yang mungkin membuat beberapa penonton menginginkan hasil yang lebih substansial.
Visual khas Eropa
Sinematografi The Green Perfume menampilkan momen-momen keindahan yang menawan dan menangkap kemegahan Eropa. Lensa kamera betah berlama-lama pada lanskap yang luas, landmark bersejarah, dan pemandangan kota yang ramai, membawa penonton ke jantung benua.
Penggunaan tone dan warna film juga patut dipuji. Palet dipilih sesuai, sering menggunakan nada yang redup dan warna biru dingin untuk membangkitkan rasa misteri dan ketegangan. Skema warna ini melengkapi pengaruh film noir dan memperkuat intrik plot yang mendasarinya.
Selanjutnya, film ini secara efektif menggunakan close-up selama momen-momen penting, menarik perhatian penonton ke nuansa emosional dari penampilan karakter.
Metode ini sukses membuat kita terhubung secara mendalam dengan para tokoh, memahami kegelisahan, tekad, dan momen humor yang sesekali terjadi. Tidak lupa juga skor musiknya yang menambah suasana, membangun ketegangan dan kegembiraan di saat-saat penting.
Penampilan duo detektif amatir
Kehadiran dan performa memikat dari Sandrine Kiberlain dan Vincent Lacoste menjadi hal penting untuk kesuksesan film ini. Keduanya membawa keunikan karakter masing-masing, membentuk chemistry kuat bagi para penonton.
Berperan sebagai Martin, Lacoste lekat dengan perpaduan pesona dan kerentanan. Ia dihadapkan pada situasi yang amat rumit, namun karakternya mudah diikuti sehingga penonton tidak akan kesulitan merasa terhubung dengan petualangan misteriusnya.
Di sisi lain, Kiberlain memerankan Claire dengan antusiasme yang menular dan sentuhan unik. Penggambarannya lucu serta menawan, menjadikan Claire sebagai karakter yang langsung disukai penonton.
Ada pun penempatan komedi Kiberlain bersinar sepanjang film, baik saat menyampaikan komentar cerdas atau bereaksi terhadap situasi tak terduga. Ia sukses menyuntikkan humor ke setiap adegan yang dimasuki. Meski begitu, Claire juga berhasil menyelipkan momen-momen emosional di beberapa adegan.
Seiring berjalannya film, skeptisisme awal terhadap satu sama lain justru berkembang menjadi kolaborasi yang dibangun di atas kepercayaan. Perjalanan mereka yang dimulai dari keterpaksaan hingga akhirnya menjadi sahabat karib menambah lapisan emosional pada narasi.
Pada akhirnya, The Green Perfume menawarkan pengalaman sinematik yang menawan dan menyenangkan, mengutamakan hiburan daripada penceritaan yang rumit. Film ini unggul dalam humornya yang unik, karakter menarik, dan momen menegangkan – meski mungkin tidak meninggalkan kesan abadi.
Jadi, The Green Perfume memang direkomendasikan bagi mereka yang mencari pengalaman sinematik sederhana namun menarik. Film ini paling cocok dinikmati karena nada ringan dan duo dinamisnya, daripada mengharapkan plot yang kompleks dan berlapis-lapis.