Review Film – The Architecture of Love (2024)

The Architecture of Love proses penerimaan dan penemuan akan cinta dan luka masa lalu

Teddy Soeriaatmadja hadir lagi ke layar lebar dengan membawa kehidupan romantis penuh suka dan duka. Lewat judul terbaru yang diadaptasi dari novel bestseller karya Ika Natassa, film The Architecture of Love menjadi salah satu tayangan cinta yang memikat hati.

Sebelumnya, sang sutradara merilis thriller-misteri Berbalas Kejam di tahun 2023. Film tersebut berhasil menorehkan prestasi di penghargaan bergengsi nasional, yaitu di Festival Film Indonesia dan Festival Film Bandung. Lantas, dengan peralihan arah ke genre romantis, apakah Teddy Soeriaatmadja bisa kembali menarik perhatian penonton?

The Architecture of Love sendiri mengikuti kisah Raia (Putri Marino), seorang penulis best seller yang tak lagi mampu menulis usai kasus perselingkuhan yang menimpa dirinya. Ia kemudian memutuskan terbang ke New York mengejar inspirasi.

Review The Architecture of Love (2024)
Raia (Putri Marino) – The Architecture of Love (2024) | © Starvision Plus

Alih-alih membuatnya bisa menulis lagi, kota ini justru mempertemukannya dengan River (Nicholas Saputra), seorang arsitek yang misterius. Perjumpaan itu menjadi awal pertemanan ‘rahasia’ di antara keduanya. Mereka bisa saling menyembuhkan tapi bisa juga saling melukai.

Hadirkan kota New York yang penuh arti

Salah satu hal yang sangat menarik di film ini, adalah bagaimana lanskap New York digambarkan dengan penuh makna. Setiap sudutnya tidak hanya jadi hiasan cerita, sebuah pemandangan sekilas mata yang hanya menjadi pajangan saja. Raia dan River menikmati berbagai sisi New York dengan apa yang sering mereka ucapkan: harapan dan kenangan.

Review The Architecture of Love (2024)
The Architecture of Love (2024) | © Starvision Plus

Monolog River sebagai tour-guide Raia selama di New York juga sangat menggugah dan tak membuat bosan. Ia menjelaskan sejarah setiap bangunan, memberikan inspirasi bagi Raia. Setiap gedung punya cerita, baik suka maupun duka.

Kisah cinta yang cukup

Layaknya film genre romantis pada umumnya, tentu akan ada adegan yang bagi setiap penonton terasa konyol dan murahan. Film ini pun tidak luput dari pengalaman tersebut. Namun, yang membedakannya adalah, kesan yang terlalu mendramatisir ini tidak mendapat porsi yang berlebihan.

Oleh karena itu, penonton bisa menikmati semua perjalanan kisah hidup Raia dan River dengan nyaman dan damai. Tidak ada titik saat kesedihan begitu menggebu, atau perasaan cinta keduanya terlalu menyenangkan untuk dinikmati. Sang sutradara seakan ingin memberikan kesan bahwa cinta itu damai. Mencintai itu nyaman dan penuh ketenangan.

Review The Architecture of Love (2024)
The Architecture of Love (2024) | © Starvision Plus

Mengutip perkataan Erin (Jihane Almira), “senang dan sedih satu paket.” Lantas, film The Architecture of Love pun seperti itu. Pembagian antara keduanya terasa cukup, sangat bisa dinikmati tanpa harus lelah dengan perubahan emosi.

Akting Putri Marino dan Nicholas Saputra

Hal yang menjadi sorotan utama di film ini tentu akting memukau dari dua bintang papan atas Indonesia, Putri Marino dan Nicholas Saputra. Kiprahnya di dunia perfilman sudah tidak perlu diragukan lagi. Apresiasi ini mungkin telah menjadi hal yang biasa, tapi memang sangat perlu disuarakan terus-menerus.

Review The Architecture of Love (2024)
The Architecture of Love (2024) | © Starvision Plus

Sebagai River, Nicholas Saputra menjadi sosok yang tidak tahu mau kemana. Ia telah kehilangan cinta, merasa bersalah namun tidak mau melepaskan. Ketika bertemu dengan seseorang yang baru, River justru semakin terpuruk dalam kesedihan.

Di sisi lain, Putri Marino yang berperan menjadi Raia telah siap menyelesaikan segala kesedihannya. Ia ingin bebas dan terlepas dari duka masa lalu. Siap menulis kenangan lain dengan orang yang tepat.

Emosi dari kedua tokoh utama pria dan wanita ini berhasil terpancar, meskipun hanya dari mimik muka. Lensa kamera menyentuh hal-hal yang sulit diucapkan, rasa sedih yang terpendam atau kebahagiaan yang berbinar. Semua itu menjadi perpaduan manis, menambah kesan intim dan hangat bagi para penonton.

Review The Architecture of Love (2024)
The Architecture of Love (2024) | © Starvision Plus

Dari empat film adaptasi Ika Natassa, The Architecture of Love bisa jadi merupakan salah satu karya terbaik bagi beberapa penonton. Kisah cinta yang damai, meski penuh luka dan air mata, sangat nyaman untuk dinikmati. Bukan hanya sekedar pengisi waktu belaka, film seakan menjadi obat pelipur lara.

Bagi penonton yang ingin melihat cerita romantis yang manis dan menggemaskan, mungkin film ini bukan pilihan yang tepat. The Architecture of Love menawarkan kedewasaan dan penerimaan, bagaimana orang yang tepat dapat menyembuhkan luka serta memberikan arti hidup yang baru.



The Architecture of Love – Movie Info

Scroll to Top